Pengayuh Biduk
Terus Berjuang ~ Sahabat TeBe | Ini cerita tanpa setting tempat dan waktu, hanya tumpahan yang mungkin ambigu. Mengembara dilautan juang ilmu dengan biduk kecil dan dayung seadanya bukan hal yang seketika jadi. Ketika gelombang menghadang posisi harus tetap seimbang. Jangankan gelombang, riak pun kita harus teliti, tak disangka mungkin nanti ada cela dalam biduk, yaitu bocor. Ataupun bibir biduk dengan murah hati menerima rayuan air hingga tak terasa menggenang. Akhirnya karam.
Baca Juga: Menghasilkan uang melalui internet dengan Google Adsense
Baca Juga: Menghasilkan uang melalui internet dengan Google Adsense
Beruntung ada tali dan paku sekenanya turut jadi teman yang dihibahkan oleh dermawan dengan sorot mata ikhlas yang semakin menguatkan kayuh dayung hingga menuju tepian yang belum terpatri dan belum tentu indah menanti. Saat menuju dermaga hendak ingin mengayuh sampan pun harus bebal mata dan perasaan. Dilihat dan di dongakkan pandangan ternyata kapal megah berjejer menyilau mata. Tentu riak akan diterjang badai pun bisa ditunggang. Beruntung pengayuh biduk masih bebal mata dan rasa, tak sedikitpun pengaruh menyilau surut dalam sanubarinya. Akhirnya pengayuh biduk sejenak terhenti. Menunggu. Menunggu jejatuhan kayu dari sang kapal maha megah yang mungkin tidak terpakai, menunggu buangan kain yang lusuh untuk dijadikan layar. Jikapun tak dapat, biduk harus tetap berjalan. Walau hanya mengekor oleng dibelakang keperkasaan penguasa perairan.
Akal tak jalan berarti tumbang, gerak lamban tunggu saja situasi malang. Seketika niat datang untuk meniru, bagaimana keperkasaan bisa bertahan. Tinggal pengayuh biduk untuk menunggu, menunggu kayu mengapung mendekat untuk bisa dipaku dijadikan tiang, menunggu kain yang mengapung untuk dijemur diikat dan dijadikan layar. Hingga sedikit lebih kuat menepi dengan juang yang maha dahsyat. Ujungnya sama, kapal megah bersandar, biduk pun menepi.
Baca juga:
Akal tak jalan berarti tumbang, gerak lamban tunggu saja situasi malang. Seketika niat datang untuk meniru, bagaimana keperkasaan bisa bertahan. Tinggal pengayuh biduk untuk menunggu, menunggu kayu mengapung mendekat untuk bisa dipaku dijadikan tiang, menunggu kain yang mengapung untuk dijemur diikat dan dijadikan layar. Hingga sedikit lebih kuat menepi dengan juang yang maha dahsyat. Ujungnya sama, kapal megah bersandar, biduk pun menepi.
Baca juga:
Posting Komentar untuk "Pengayuh Biduk"
Posting Komentar